Jumat, 29 Januari 2016

Harmoni yang Suram

   Seni suara. Sulit dipercaya memang aku bisa masuk ke seni ini. Padahal ada empat pilihan pelajaran seni budaya lainnya yaitu batik, desain grafis, seni musik, dan seni lukis. Beberapa orang berfikir, pelajaran ini tidak begitu sulit karena kita hanya bermodalkan suara, padahal ... -_-
   Nah, sebagai nilai UTS, Pak Deni meminta kami untuk bernyanyi solo dengan lagu yang kami pilih sendiri. Tentu sulit, karena aku belum pernah nyanyi di depan banyak orang, dengan mik, di depan panggung pula. Aku juga bingung memilih lagu yang pas dengan suara rendahku. Aduh, ternyata seni suara tidak semudah yang kubayangkan. 
    Sampai di asrama, Irma menyodorkanku buku kumpulan lirik. Beberapa kulihat dan bagus walaupun lagu lama. Akhirnya, setelah membaca berulang kali aku menjatuhkan pilihanku pada lagu harmoni. Lagunya bagus dan tidak begitu panjang.
    Setelah berlatih pada malam sebelumnya, tibalah waktu eksekusi. Kami menanti namanya dipanggil satu-persatu. Tiba-tiba, namaku disebut. Tanganku mendadak dingin dan perutku mulas. Rasanya baru pertama kali ini aku merasakan demam panggung. 
   Kaki kupijakkan menuruni tangga penonton menuju panggung. Kepalaku mulai pusing memikirkan lirik yang hancur berantakan dalam pikiranku. Setelah menyesuaikan Midi dengan suaraku, aku harus mulai menyanyi. 
    Sumbang. Aneh. Tidak pas. Pikiranku tidak karuan. Rasanya para lirik menyebalkan itu sudah berloncatan keluar dari kepalaku, terbuang ke tempat sampah. Aw, aku tidak ingat satupun kata bahkan kalimat. Sesekali aku melirik Sarah yang hanya mengacungkan jempolnya dan mengtatakan bahwa mik ku kurang naik. 
    Lagu berakhir. Alhamdulillah. Badanku melemas. Pengalaman buruk yang tidak akan pernah ingin kuulangi lagi.Cukup menjadi sebuah pelajaran untuk meningkatkan kepercayaan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar